YPI - ALAZHAR TKI AL AZHAR 14 Diknas Kota SMG SDI ALAZHAR 14 SMPI ALAZHAR 14

Wednesday, March 12, 2008

Mengasah Kepekaan dan Tanggung Jawab di Usia Dini

Sumber Republika Rabu, 05 Maret 2008
Ratna Megawangi
Mengasah Kepekaan dan Tanggung Jawab di Usia Dini

Oleh :

Nama Ratna Megawangi sepertinya lebih dulu dikenal media massa sebelum Sofyan Jalil, suaminya, ditunjuk sebagai Menkominfo dan kemudian Menneg BUMN pada pemerintahan Presiden SBY. Perempuan berkulit putih ini menyuarakan jender dengan arus yang melawan mainstream atau berlawanan dengan para feminis.

Ia menuangkan gagasan lewat bukunya 'Membiarkan Berbeda'. Bagi Ratna, perempuan yang pernah berguru pada sufi di AS, Bawa Muhayyadeen, dunia pendidikan berbasis karakter yang ditekuninya lewat Indonesia Heritage Foundation (IHF) saat ini adalah kelanjutan dari pemikiran tentang ide gender berbeda yang pernah ditekuninnya dulu. Kepada Rachmat Santosa Basarah dan Siti Darojah SW, Ratna berbagi pemikiran bahwa pembentukan karakter harus diperkenalkan pada masa golden years yakni sekitar usia 4-6 tahun. Berikut petikannya.



Dulu ibu aktif membahas masalah jender. Kok sekarang jadi berbelok ke pendidikan?
Waktu saya berkecimpung di dalam jender, saya memang dianggap sebagai sosok yang against the main straim, antifeminis, bahkan ada yang menyebutkan ultra kanan dan macam-macam. Tapi bukna berarti saya tidak pro pada nasib perempuan. Jika membaca buku saya 'Membiarkan Berbeda' orang akan melihat bahwa saya menempatkan perempuan pada posisi yang mana akhirnya itu membutuhkan perempuan juga.

Saya menulis buku 'Membiarkan berbeda' untuk menuangkan pemikiran tentang apa itu feminisme. Bagaimana, seharusnnya sosok perempuan ditempatkan. Pada akhir bab 'Berbeda' (buku-red), saya mulai berpikir bahwa bahwa struktur patriarki, hierarkis, itu sebuah Sunnatullah. Gerakan para feminis yang berpikir struktur ini harus diruntuhkan karena menindas ternyata tidak berhasil.

Itu saya paparkan dari sejarah yang saya tulis dalam buku. Itu sudah given, sudah ada dalam alam semesta yang memang sudah hierarkis. Karena di dalam kehidupan itu selalu ada strata-strata. Sekarang pertanyaannya, kalau paradigma feminis mengatakan bahwa sesuatu hirarkis pasti ada penindasan sehingga yang atas menindas yang bawah, yang kaya menindas yang miskin, kapital menindas proletar, dan lelaki menindas perempuan. Itu kan sama strain-nya.

Sekarang pertanyaannya apakah yang egaliter itu bebas dari penindasan. Ternyata tidak juga. Akhirnya saya berpikir dan membuktikan dalam bab terakhir bahwa dalam pola patriarkis bisa ada penindasan, tapi juga bisa merupakan struktur yang sebaliknya yakni keharmonisan dan kedamaian. Jadi, bagaimana struktur yang hirarkis itu, yang tidak bisa kita ubah karena Sunatullah, bisa kita ubah menjadi struktur yang Tuhan menginginkannya. Manusia saling menghormati, complementary dari manusia yang berbeda-beda. Maskulin berbeda dengan feminin, tapi bagaimana perbedaan itu menjadi satu kesatuan.

Jadi, apa yang Anda tidak cocok dengan penghapusan pola patriarki oleh para feminis?
Kalau mau kita hilangkan pola patriarki dengan cara feminis yakni semua egaliter, tidak ada kepala keluarga, dan semua harus mandiri, semua harus bertanggungjawab pada dirinya sendiri, menurut saya struktur menjadi tidak efektif untuk terjadinya peran pendidikan, pengasuhan, mentransfer moral-moral pada anak-anak. Karena itu perlu otoritas.

Manusia kalau dididik dengan baik, dengan kasih sayang, dengan ahlak mulia, itu ngak mungkin jadi sosok penindas. Mereka akan jadi seorang pria, suami yang tanggungjawab, loving, penuh dedikasi. Alih-alih menindas istrinya, lihat kucing kelaparan saja dia tak akan tega. Jadi di situ saya berpikir, bicara jender itu tak ke mana-mana, kalau manusianya tidak kita siapkan. Manusianya yang harus dididik karakter, akhlak mulia. Saya menyebut character building. Jadi, tak cukup sampai di isu jender saja, namun harus ada solusinya. Dengan demikian tidak terjadi penindasan. Itu tahun 2000.

Jadi, terjun ke pendidikan ini kelanjutan dari penulisan Membiarkan Berbeda, pemikiran tentang jender?
Begitulah. Saya kemudian berpikir membuat model pendidikan berbasis karakter, tapi ngak mau bikin sekolah. Yang ingin saya lakukan adalah membuat model dulu. Nantinya dari model ini bisa diaplikasi di manapun. Jadi filosofinya kenapa saya ke sana adalah karena saya berpikir bagaimana menciptakan sebuah tatanan sosial yang harmonis tanpa penindasan. Yaitu mendidik manusianya dengan baik.

Alasan kedua, kenapa saya masuk pada pendidikan usia dini, karena usia di bawah tujuh tahun adalah usia golden years. Usia yang paling strategis jika kita mau membentuk akhlak manusia. Seperti menulis di atas batu, yang akan long lasting. Otak manusia terbentuk 95 persen di bawah tujuh tahun.

Fenomena yang lain, karena memang ternyata data pada saat itu hanya 12 persen anak usia empat hingga enam tahun yang punya akses masuk ke TK. Selebihnya tidak bisa. Memang ada masuk ke Taman Pendidikan Alquran. Itu bukan TK, karena belajar 'Iqro' saja. Jika pun anak bisa masuk TK belum tentu pola pendidikannya bagus. Jika kita gagal pada fase ini, dampaknya permanen.

Kami membuat sebuah model. Anak yang masuk ke sini terbentuk akhlaknya, kreativitasnya, semangat dan motivasi belajar tinggi. Sekolah menjadi menyenangkan dan berbeda dari sekolah klasik. Banyak sekolah mematikan natural impulse anak-anak untuk menjadi kreatif. Padahal potensi krativitas itu diberikan oleh Tuhan. Jika kita salah mendidik, pada usia delapan tahun kreativitasnya tinggal 10 persen, dan jika berlangsung hingga dewasa tersisa dua persen saja. Itulah mengapa amat bahaya jika sebuah pendidikan salah.

Di sini anak dididik dengan menghafal. Jika dia hafal diberi nilai seratus. Meski, tak paham maknanya. Masalah kita amat krusial. Pada masa usia yang sangat strategis, tidak kita tangani dengan baik. Kemudian pada masuk usia SD, karena input awalnya tidak bagus, tidak akan bagus sampai ke sananya. Sehingga SDM kita terus saja di bawah. SDM kita termasuk yang paling rendah, baik di Asia maupun di Asia Tenggara.

jadi bukan karena pengalaman pribadi membutuhkan sekolah yang baik untuk anak
Ya. itu juga. Saat anak saya mau masuk TK, saya merasa tidak pas dengan hati saya. Jadi anak saya masuk TK cuma dua bulan dan akhirnya home schooling.

Berapa sekolah yang sudah menerapkan model ini?
Sudah 480 sekolah dari awalnya tiga dulu sebagai pilot project. Namanya Semai Benih Bangsa (SBB) dan ini pendidikan untuk usia dini. Sampai tahun 2000 kami menyusun modulnya dulu. Cari dan padukan model dari sana-sini. Tahun 2001 kami buka sekolah. Tahun 2001-2003 dengan satu TK Karakter.

Kerja sama dengan perusahaan swasta di Aceh membuat kami percaya diri. Karena perusahaan Amerika ini mau membantu kita mengadopsi sistem ini. Kemudian dari mulut ke mulut hingga jadi 480 plus sekitar 125 sekolah TK yang mengambil pendidikan holistik berbasis karakter. TK SBB ini pendidikan usia dini nonformal. Berdasarkan UU Sisdiknas terbaru 2003, model pendidikan ada formal, nonformal dan informal.

Apakah pendidikan berbasis karakter ini sudah diusulkan ke Diknas untuk diadopsi jadi kurikulum resmi?
Diknas sebetulnya juga sudah tahu. Namun, sistem ini tak mudah begitu saja dicangkok. Pelatihan gurunya saja 22 hari. Pendidikan character building ini harus diterapkan oleh orang-orang yang berpengalaman jadi guru. Jadi tidak sekedar mencangkok, karena ada ruhnya di situ yang harus kita tanamkan. Kami jalan terus dan membuka SBB tiap bulan. Sekarang sedang ada training untuk guru di 17 lokasi. Bulan depan di 30 lokasi.

Apakah sudah mencakup di 33 Provinsi?
Belum semua, tapi sudah ada sampai di Papua. Di Papua itu dengan SIKIB (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu), itu namanya Selamatkan Tunas Bangsa. Ada di 15 lokasi di Papua. Kemudian di Poso dan Ambon juga ada.

Apa yang istimewa dari pendidikan ini, apa sudah ada penelitian bahwa memang hasilnya efektif?
Sudah ada hasil penelitian. Anak-anak itu menjadi caring, loving, and tolerant. Ini penelitian ilmiah yang dilakukan dua penelitian besar. Yang pertama dilakukan Dr. Dwi Hastuti dari IPB yang meneliti 356 anak alumni SBB di sekolah di Jabotabek. Dia meneliti dampak model pendidikan Semai Budi Bangsa Holistik Berbasis Karakter dibanding anak-anak yang tidak masuk ke TK dan anak TK mainstream.

Hasilnya menyatakan dari segi income (pendapatan), siswa yang berasal dari TK lebih kaya dari anak SBB. Sekolah di TK biasa butuh uang pangkal hingga Rp 400 ribu hingga jutaan, uang seragam dan lainnya. Di SBB terserah tergantung negosiasi dan bisa dicicil. Yang jelas tidak gratis. Dari 15 aspek perkembangan anak, siswa lulusan SBB lebih baik. Karakternya terbentuk dan terlihat berbeda. Beberapa bulan lalu Exxon Mobile juga buat penelitian serupa di Aceh. Hasilnya sama.

Satu lagi, penelitian oleh Pak Wahono, kandidat doktor di Semarang. Dia yang menyusun PPKN, Pancasila. Dan dia menyimpulkan wajar pendidikan PPKN tak mengubah perilakuk karena metode yang diterapkan berbeda. PPKN atau Pancasila hanya mengembangkan aspek knowing (pengetahuan) dan itu pun dengan menghafal.

Di SBB tak hanya knowing tapi juga reasoning (alasan). Misalnya anak dilatih jujur dan dijelaskan kalau tidak jujur akan seperti apa. Misalnya tidak disenangi teman, atau kita akan begini.. begini. Anak tahu reasoningnya. Termasuk loving dan acting.

Sepertinya dikembangkan di daerah konflik, atau di daerah lain juga?
Sebetulnya di daerah konflik tidak terlalu banyak. Memang kita menghendaki anak yang toleran dan berkarakter lembut, tidak gampang marah-marah. Siapapun, daerah manapun yang membutuhkan modul ini, kami terbuka. Sekarang mulai banyak yang minta untuk dibuka. Tinggal kita match-ing dengan sponsornya saja. Model ini butuh sponsor karena guru perlu ditraining selama 22 hari, butuh mainan, dan buku-buku yang banyak. Ini butuh biaya, sementara masyarakatnya miskin. Yayasan IHF ini nonprofit. Saya sama sekali tak dibayar. Tapi yang kerja di yayasan itu harus dibayar karena mereka bekerja full time. Yayasan juga harus running.

Kalau ada masyarakat misalnya yang tertarik dengan sistem ini, bagaimana caranya?
Daftar saja. Hubungi yayasan. Nanti kita catat dan jika ada sponsor bisa kita lakukan. Saya percaya selalu ada jalan dari Allah untuk dipertemukan untuk niat ini. Ini dari Tangan Tuhan juga. Setiap ada keinginan selalu ada jalan. Kadang malah instan.

Berapa dana yang dibutuhkan untuk satu unit sekolah ini?
Kalau untuk satu paket, dengan dua orang guru. Sudah training langsung buka, asal sudah ada tempatnya, itu dibutuhkan sekitar Rp 17 juta rupiah. Itu paket yang murah sekali karena kalau kita bandingkan dengan franchise sekolah swasta bisa ratusan juta rupiah. Guru SBB dibayar masyarakat. Saya tidak mau gratis untuk membentuk responsibility orang tua.

Saya khawatir jika dibuat gratis, kita membentuk masyarakat yang selalu menuntut hak. Artinya, ada orang lain yang harus memenuhinya. Inilah menurut saya salah satu kesalahan paradigma human rights. Karena, yang dikedepankan selalu hak. Jika yang dikedepankan responsibility, kita dilatih bertanggungjawab untuk berbuat sesuatu, sehingga hak orang lain terpenuhi.

Seorang responsible mother akan berbuat sesuatu supaya anak-anaknya terpenuhi haknya. Responsibility sesuatu yang abadi. Kalau hak, keduniaan. Jika semua menuntut hak, siapa yang akan memenuhi? Ini kisah di Jakarta Utara yang selalu membuat saya terharu. Seorang ibu pengikat kangkung, datang ke rumah ibu guru jam tujuh pagi, hari Ahad. Dia mau bayar uang sekolah anaknya yang Rp 20 ribu. Sang guru bertanya mengapa harus pagi-pagi betul. Si ibu bilang jika kesiangan, uangnya mungkin sudah habis. Ibu itu hanya buruh petik kangkung tapi begitu bertanggung jawabnya dia pada pendidikan anaknya. Sikap ini yang harus kita tumbuh dan kembangkan di masyarakat.

Anak-anak harus dilatih berdiri di kaki sendiri dan being responsible paling tidak pada anaknya. Kalau pada anaknya sendiri tidak mau bertanggungjawab, bagaimana kita berharap dia mau bertanggungjawab pada society yang lebih luas. Kisah lain waktu saya ke Pakistan. Ada seorang kaya yang dia selalu setiap hari memberi makan siang 50 orang miskin di sana. Satu ketika orang kaya ini berlibur ke luar negeri selama dua minggu.

Dan ketika kembali ke negaranya, orang-orang yang biasa dikasih makan berdemo dan marah-marah. Mereka minta itu yang 14 hari itu diganti uang. Mereka bukan berterima kasih atas berbulan-bulan makan gratis tapi menuntut yang 14 hari tak dapat. Mereka merasa itu haknya. Ini yang saya takutkan. Makanya saya ingin program ini tidak boleh gratis. Jadi ini tidak gratis. Bayarnya seribu rupiah sehari. Sebutir kelapapun, pokoknya bayar. Jadi ada responsibility. Sehingga tumbuh rasa tanggungjawab.

Model Anda kembangkan sendiri?
Melalui proses ya. Itu dengan perenungan. Karena, dulu juga belajar sufistik. Dan waktu saya di AS, setelah selesai pendidikan S3, suami belum selesai. Jadi saya ambil postdoctoral dalam bidang nutrisi dan keluarga. Di sini saya didukung tim yang luar biasa dan semua kolaborasi. Tapi memang yang mencetuskan ini saya dengan suami saya. Proses hingga ketemu model seperti ini sekitar tiga tahun. Tuhan juga kasih jalan mulus. Semua otodidak. Bahan-bahannya kan banyak, termasuk dari internet. Semua diujicobakan di pilot project itu.

Model pendidikan kreatif seperti ini bukankah sudah biasa di Barat?
Ya. Hanya kita tidak biasa. Di sini, TK belum jadi pendidikan wajib. Karena itu pada awalnya concern pemerintah awalnya tidak terlalu ke situ melainkan langsung ke SD. Padahal pendidikan usia dini itu kuncinya.

Model ini apakah terbatas pada TK saja?
Sampai SMP. Kita sudah ada sampai SD kelas enam di SD Karakter. Untuk SMP kita buka bulan Juli. Ini pilot project dulu. Kami belu membuka banyak karena butuh lokal. Jadi strateginya, kami menawarkan siapa saja sekolah negeri atau swasta yang mau mengadopsi sistem ini. Untuk SD negeri dan madrasah saat ini sudah ada sepuluh yang pakai.

Biodata

Nama: Dr. Ir. Ratna Megawangi, M.Sc
Lahir: Jakarta, 24 Agustus 1958
Jabatan: Pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Hheritage Foundation (Yayasan Warisan Luhur Indonesia), pengajar di IPB
Suami: Dr. Sofyan A. Djalil, SH, MA, MALD

Anak:
1. Muhammad Rumi, lahir 1985
2. Safitri Mutia, lahir 1990
3. Muhammad Lutfi, lahir 1998

Ayah: Ayah Drs Harmonie Djaffar
Ibu: Sri Mulyatie

Pendidikan:

Post Doctoral Fellow, Tufts University School of Nutrition, Medford, Massachussets, AS bidang Keluarga, Pengasuhan Anak, Orangtua, 1991-1993
S-3, Tufts University School of Nutrition, Medford, Massachussets, AS, bidang Kebijakan Internasional Makanan dan Gizi, 1998-1991
S-2, Tufts University, bidang Ilmu Sosial dan Gizi, 1986-1988
S-1, Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor, Fakultas Pertanian, Jurusan Makanan, Gizi, dan Sumberdaya Keluarga, 1978-1982

Penghargaan:
-Mahasiswa Lulusan Terbaik Fakultas Pertanian IPB Bogor, Mei 1982
-Ford Foundation Fellowship Award, 1986-1987
-Inter-University Center Fellowship Award, 1987-1988
-Tufts University Graduate Fellowship Award, 1988-1989
-Ford Foundation Fellowship Award, 1989-1991
-Penghargaan "80 Tokoh Wanita Muslim Indonesia Terbaik", Januari 2002,
dimana profilnya ditulis dalam "Profil Tokoh Wanita Muslim Indonesia", 2002.